Kamis, 10 Mei 2012

Siapkah Indonesia dengan Dampak Nuklir akibat PLTN di Bangka

nuklir-fukushima-jepang

Ditengah gencar-gencarnya pemerintah RI yang akan membangun reaktor nuklir PLTN di Bangka ,pemerintah Jepang justru mematikan reaktor nuklir terakhirnya awal Mei ini
Pematian PLTN di Jepang disebabkan oleh sikap rakyat negara itu yang mulai semakin tidak percaya pada keamanan PLTN menyusul bencana yang melanda PLTN Fukushima pada 2011.

PLTN memasok 30 persen kebutuhan listrik Jepang. Pemerintah Jepang sebenarnya menginginkan PLTN bisa segera dihidupkan kembali, namun tekanan masyarakat begitu kuat memprotesnya.

Di Indonesia, sikap masyarakat juga lah yang membuat rencana PLTN yang diwacanakan lebih dari 20 tahun lalu, belum terwujud.

Menurut MenRisTek Gusti Muhammad Hatta beberapa bulan lalu, soal sikap masyarakat itu pula yang sedang ditunggu pemerintah untuk mewujudkan PLTN.

"Pemerintah sudah siap untuk membangun pembangkit nuklir. Namun masyarakat kita belum siap," kata Gusti Muhammad Hatta dalam kunjungan kerja di Kabupaten Lebak, akhir Februari.


Pernyataan itu juga diulangi pada kunjungannya bulan April ke ITB Bandung.


Diskusi soal penerimaan atau penolakan PLTN langsung muncul begitu pemerintah Orde Baru memaparkan rencana pembangunannya.

Penolakan yang masif dan terencana dengan baik muncul dari warga Jawa Tengah yang kontinyu dan terorganisir menolak pembangunan PLTN di Semenanjung Muria Jepara.

Semenanjung Muria merupakan tempat yang sesuai bagi berdirinya reaktor PLTN hasil kajian konsultan asal Jepang, New Jec, yang rampung pada 1996. Studi tapak yang dilakukan New Jec menelan Rp22 miliar.

Gelombang protes masyarakat terhadap rencana pemerintah itu terus marak dan tidak putus dari tahun ke tahun dimanapun di Jakarta maupun di daerah setempat.

Isu PLTN sempat berhenti sekian tahun.

Pada tahun 2011 pemerintah kembali mempromosikan PLTN dan daerah yang disebut sebagai lokasi berdirinya reaktor itu bukan di Semenanjung Muria, bisa diartikan bahwa PLTN Muria sudah tamat.

Belum ada informasi resmi dari pemerintah mengenai hal itu. Namun, menurut pegiat Marem, organisasi penolak PLTN Muria, Lilo Sunaryo PhD, dia mendapat informasi dari Batan bahwa Semenanjung Muria gagal menjadi tapak prioritas bagi PLTN.

Pindahnya PLTN ke Bangka mau tidak mau membuat pemerintah kembali ke titik nol dan bakal menghadapi problem sama dengan yang dihadapi PLTN Muria.

Pemerintah harus kembali melakukan studi tapak untuk memilih daerah yang tepat bagi berdirinya reaktor dan, tentu saja, harus menghadapi penolakan masyarakat setempat. Penolakan itu sudah dimulai.

Dalam merencanakan suatu proyek penggunaan energi nuklir, suara masyarakat memang sangat penting untuk didengar, seperti yang dilakukan negara-negara Eropa Barat. Di negara-negara Skandinavia, misalnya, banyak reaktor riset nuklir yang ditutup akibat adanya protes dari masyarakat.

Menurut pakar nuklir AS, Ivan Selin, dalam suatu ceramahnya di Jakarta, beberapa tahun lalu, kedudukan "public hearing" dalam penentuan pembangunan PLTN di Amerika Serikat sangat kuat dan penting.

Komisi Regulator Nuklir AS dalam "public hearing" melakukan diskusi dengan anggota legislatif, menteri terkait, dan LSM yang memiliki komitmen pada masalah penggunaan nuklir.

Selain itu, pembangunan tenaga nuklir hanya akan berhasil jika dibarengi dengan keberadaan peraturan yang keras.

Hal itu sudah dibuktikan oleh negara Eropa Barat, Jepang, Korea, dan Taiwan, yang sejak semula telah membangun infrastruktur keselamatan nuklir, sebelum pengembangan PLTN.

Dunia banyak belajar tentang pentingnya keselamatan infrastruktur keselamatan nuklir dari kecelakaan nuklir di Three Mile Island dan Chernobyl.

Sedangkan dari kebocoran reaktor nuklir Fukushima, orang melihat betapa infrastruktur keselamatan yang dimiliki Jepang keteteran saat menghadapi kecelakaan akibat tsunami yang kedahsyatannya di luar perkiraan manusia.

Orang di seluruh dunia melihat, tingkat kedisiplinan orang Jepang yang tinggi dan infrastruktur keselamatan negeri itu yang andal jadi terkesan lamban dalam mengatasi kebocoran reaktor itu.

Akibatnya, tingkat kepercayaan masyarakat Jepang turun drastis pada keamanan PLTN. Maka, sejak Mei 2012, Jepang hidup tanpa PLTN; entah sampai kapan.

Melihat sejumlah kasus itu, pemerintah Indonesia sebenarnya tak perlu lagi mempromosikan kecanggihan teknologi PLTN dan keefektifan reaktor itu dalam menghasilkan listrik.

Secara teknologi, pendukung dan penolak memiliki pengetahuan yang sama soal kecanggihan reaktor nuklir dengan persepsi berbeda.

Yang perlu diketahui masyarakat sebenarnya adalah justru upaya pemerintah dalam menyiapkan infrastruktur keselamatan PLTN. Dalam kalimat lain, promosi pembangunan PLTN harus disertai dengan skenario yang memperlihatkan kesigapan aparat menangani segala permasalahan jika kecelakaan terjadi.

Melihat sejumlah kasus, maka, pembangunan reaktor nuklir untuk PLTN harus dibarengi dengan kesiapan menghadapi dan menangani kecelakaan rektor itu. Ada bahaya laten kecelakaan di balik kecanggihan PLTN.

Soal itu tentu saja termasuk kesiapan menangani limbah radioaktif yang dihasilkan reaktor PLTN.

Masalah itu yang harus didiskusikan secara terbuka, karena risiko yang timbul saat adanya kecelakaan di reaktor nuklir memang selalu sangat mengerikan.

BJ Habibie, beberapa saat setelah disahkannya UU Ketenaganukliran, 1997, menyatakan bahwa UU itu justru dibuat untuk mempersulit pendirian PLTN.

Ilmuwan itu memang tidak membahas lebih jauh alasan mengenai pernyataannya itu. Tapi, itu bisa diterjemahkan bahwa pembangunan reaktor PLTN tidak bisa dianggap sebagai pekerjaan yang mudah. Pekerjaan itu harus dianggap sebagai sesuatu yang luar biasa dan ditangani secara luar biasa pula.

Siapkah pemerintah mendiskusikan berbagai hal yang terkait infrastruktur keselamatan PLTN?



Sumber : antaranews.com






0 komentar:

Posting Komentar