Minggu, 09 September 2012

Foto-foto Bedhol Keprajan Kotagede 2012

Festval Budaya Kotagede yang di selenggarakan pada tanggal 7-9 Setember 2012 menampilkan beberapa acara di antaranya arak-arakan Bedhol Keprajan yang di selengarakan dari Lapangan Karang Kotagede sampai Watu Gilang. SEJARAH TERJADINYA ARAK-ARAKAN ALEGORIS LINTASAN SEJARAH “BEDHOL KEPRAJAN” Berangkat dari dasar pemikiran bahwa Kotagede adalah Kota Tua yang telah berusia lebih empat abad. Semula didirikan sebagai Ibu Kota Kerajaan Mataram Islam di tanah Jawa. Sebagai kota tua, sisi kehidupan tradisionalnya ternyata mampu berjalan seiring dengan kehidupan modern. Artinya, Kotagede terus tumbuh dan berkembang sebagaimana kebudayaan yang menjadi nafas kehidupan juga terus tumbuh dan berkembang secara dinamis. Kehidupan budaya di Kotagede makin lama makin menjadi kaya karenanya. Kekayanan budaya, atau potensi budaya itu dibiarkan berproses dan berjalan secara alamiah. Dikhawatirkan dengan terjadinya percepatan perubahan dan pertumbuhan kota, misalnya ketika Kotagede makin menyatu dengan Yogyakarta, ketika terminal bus Kota Yogyakarta makin mendekati Kotagede ditambah dengan berbagai proses migrasi (migrasi ide dan pemikiran, migrasi kultural karena sentuhan pariwisata, pendidikan, dan migrasi fisik karena makin banyaknya orang luar yang masuk ke Kotagede). Maka muncul kekhawatiran jangan-jangan kekayaan budaya itu akan kehilangan otentitas, akan mengalami kepunahan secara perlahan-lahan. Melihat kuatnya nilai sejarah yang ada, ditambah lagi Kotagede ini pula yang menurunkan Kasunanan Solo dan Kasultanan Yogyakarta memiliki adat budaya yang cukup mempesona. Maka, nasib Kotagede alangkah celakanya kalau tidak memiliki arak-arakan alegoris lintasan sejarah secuil pun. Maka dari itu, perlu sebuah revitalisasi dengan menggali dari titik penting sejarah yang tersedia. Dimulai dari cikal bakal Kraton Mataram dengan tokoh utama Ki Ageng Pemanahan setelah Pajang surut dari gelanggang kekuasaan, maka Mataram menjadi penggantinya. Tujuh tahun setelah meninggalnya Ki Ageng Pemanahan, yakni pada 1582, Sultan Hadiwijaya di Pajang juga meninggal dunia setelah sakit sehabis kalah perang dengan Sutawijaya. Pangeran Benawa seharusnya yang menggantikan Sultan Hadiwijaya ternyata disingkirkan Arya Pangiri. Sutawijaya terpanggil untuk membela induk semangnya, praja Pajang. Pemberontakan Arya Pangiri berhasil dipatahkan. Memperhatikan intrik dan suksesi tahta Pajang yang terus menerus pahit, tentu akan menghasilkan sejarah yang gelap sejak Pati Unus berkuasa, Surawinata ayah Arya Penangsang dibunuh Raden Prawoto anak Trenggono, sampai Sultan Hadiwijaya (Joko Tingkir menantu Sultan Trenggono). Sutawijaya menolak meneruskan tahta Pajang, kemudian dia memindahkan dan menyelamatkan tahta Pajang ke Mataram dan menjadi raja bergelar Panembahan Senopati (1575 – 1601). Dengan demikian Mataram yang semula merupakan sebuah Kadipaten yang tunduk kepada Pajang, kemudian naik statusnya menjadi sebuah kerajaan. Untuk menjadi raja, Sutawijaya selain memboyong tahta (sebuah dampar), juga membawa sipat kandel lainnya berupa pusaka-pusaka kerajaan Pajang, seperti : Gong Kyai Sekar Delima, Jathayu Cekathikan, Myang Kandali Macan Guguh (sumber : Dr. Purwadi, M. Hum, Nyai Roro Kidul dan Legitimasi Politik Jawa, Penerbit Media Abadi, Yogyakarta). Di samping memboyong seluruh pusaka, Sutawijaya juga memboyong budaya yang ada, menurut cerita yang diingat masyarakat dan dikisahkan dari mulut ke mulut secara turun-temurun, budaya corak busana antara Pajang yang ditinggalkan dan Mataram yang akan disongsong pun mengalami perbedaan. Mataram memperoleh busana yang disebut Surjan, dari akronim asal kata Ngesur Keprajan (wawancara dengan Bapak Asrori, abdi dalem pasareyan Kotagede, Kasultanan Yogyakarta). Berikut Foto-foto Festival Budaya Kotagede "Bedhol Keprajan"









Sumber : foto by Andhi kurniawan Sumber berita : http://www.facebook.com/events/105719019579624/






0 komentar:

Posting Komentar